Rabu, 16 Mei 2012

Hijab; Fitrah Dan Kemuliaan Seorang Wanita

dakwatuna.com – Salah satu hal yang membuat Islam relevan di manapun dan sampai kapan pun adalah karena ajaran-ajarannya memuat unsur-unsur yang tetap dan tidak lekang dimakan zaman. Contohnya seperti buka-bukaan dan tertutup; di manapun dan sampai kapan pun yang buka-bukaan itu jelas tidak lebih terhormat dari yang tertutup, setidaknya dalam sekilas pandangan orang-orang.


Apa perbedaan mendasar antara wanita penggoda (baca: PSK) dan wanita baik-baik? Jawabnya adalah “Buka-bukaan”, ini perbedaan mendasar! Kenapa? Karena tidak mungkin PSK serba tertutup bukan? [1]

Membiarkan aurat terbuka berarti mengesankan diri kepada para lelaki bahwa yang bersangkutan boleh diganggu, baik dengan perbuatan maupun perkataan.
Seringkali wanita beralasan “Ah, itu laki-lakinya saja yang mata keranjang”. Dengan tulus saya akui “Ya, benar… itu yang pertama”. Selanjutnya saya bertanya “Yang kedua?”. Telah berulang kali bang napi bilang bahwa kejahatan terjadi bukan hanya karena niat pelaku tetapi juga karena adanya kesempatan. Jika memang laki-lakinya yang mata keranjang, tentu itu bukannya tanpa sebab, pasti ada sebab, dan salah satunya adalah karena adanya stimulus (rangsang) dari seorang wanita yang mengumbar auratnya.
Biar sedikit saya jelaskan bahwa tabiat laki-laki adalah terangsang (syahwat) terhadap wanita, sekalipun laki-laki shalih, dan Anda sudah tahu firman Allah swt:
Dijadikan indah dalam pandangan manusia kecintaan terhadap apa yang mereka inginkan, berupa perempuan-perempuan…” (QS. Ali-Imran: 14)
Yusuf AS bukannya tidak mau dengan Zulaikha. Tidak kah Anda memperhatikan bagaimana perasaannya ketika ia digoda? Allah berfirman mengisahkan perasaan Yusuf AS ketika Zulaikha menggodanya:
Dan sungguh, perempuan itu telah berkehendak (ingin) kepadanya (Yusuf), dan Yusuf pun berkehendak kepadanya, sekiranya tidak melihat tanda (dari) Tuhannya….” (QS. Yusuf: 24)
Jadi, orang yang mengatakan bahwa lelaki shalih tidak tergoda dengan wanita yang menggodanya adalah orang yang mendustakan sejarah. Setidaknya, keinginan itu pasti ada, terlepas apakah kemudian ia menindaklanjutinya atau tidak, dan terlepas dari besar atau kecilnya keinginan tersebut. Kaum laki-laki biasa mengatakan “Tentunya kami masih normal”.
Begitu terang keindahan ajaran ini, namun sayang, niat baik ajaran Islam ini justru malah dicurigai sebagai rencana terselubung “pihak-pihak tertentu” untuk merendahkan harkat dan martabat kaum wanita.
Merendahkan kaum wanita….” Untuk itukah Islam datang? Lagi-lagi sejarah tidak pernah berdusta bahwa di Fes Maroko sana Fatimah Al-Fihri tercatat sebagai pendiri Universitas pertama di dunia, dan tahukah Anda bahwa pada saat yang sama Eropa masih menganggap wanita sebagai makhluk yang tidak lebih dari barang dagangan. Atau mungkin terlalu jauh? Baik! Di Aceh ada Malahayati, panglima Angkatan Laut wanita pertama. Aceh juga pernah dipimpin oleh Sultanah (sultan wanita) selama empat periode (1641-1699). Posisi sulthanah dan panglima jelas bukan posisi rendahan.[2] Bukankah seharusnya sosok-sosok wanita seperti ini tidak pernah ada jika memang ajaran Islam bermaksud merendahkan derajat wanita serendah-rendahnya?
Bahkan sejak permulaan Islam, saat para wanita di belahan dunia lain belum dianggap sesuatu, saat dunia masih gelap dengan kejahiliyahan dan kebodohan merajalela, Aisyah Radhiallahu anha sudah menjadi penulis. “Dari wanita, Aisyah Binti Abu Bakr, kesayangannya yang disayang Allah…”[3] begitulah kalimat pembuka tulisan beliau Radhiallahu anha, dan tahukah Anda? Menulis pada saat itu masih merupakan hal istimewa yang tidak semua orang Arab mampu melakukannya!
Semua wanita muslimah adalah ratu” begitu kata orang-orang. Sebagai seorang ratu, tentunya tidak semua orang bisa menyentuh dan melihatnya. Sebagai seorang ratu, tentunya tidak perlu mengambil resiko dengan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan prajurit yang notabene laki-laki. Apakah ini dianggap penghinaan terhadap kaum wanita? Sesungguhnya jika Allah bermaksud menghinakan wanita dan merendahkan derajat wanita serendah-rendahnya – dan itu tidak terjadi –, pastilah semuanya dibalik; Allah akan jadikan lelaki sebagai “Ratu” dan membiarkan wanita mengerjakan apa yang dikerjakan lelaki, tidak ada syariat hijab dan sebagainya. “Silakan, Justru itulah yang kami ingin kan!” kata laki-laki malas dan tidak bertanggung jawab kegirangan.
RUU Gender; Kurang Akal Kurang Agama Atau Tak Punya Akal Tak Punya Agama?
Di sebuah hadits Nabi Muhammad saw disebutkan bahwa wanita kurang agama dan akalnya. Sebagian ulama syariah ada yang berpendapat bahwa maksud dari hadits tersebut adalah para wanita seringkali mengedepankan perasaannya ketimbang logika, sehingga seolah-olah akalnya kurang.
Sebenarnya wanita bisa lebih logis ketimbang pria, namun kebanyakan wanita lebih memilih untuk menjadi perasa, dan andai saja wanita tahu bahwa tidak semua hal dalam agama ini dapat dimengerti oleh perasaan, dan tidak semua hal dapat dijangkau oleh logika, karenanya memainkan keduanya itu perlu.
RUU gender adalah salah satu pemaksaan perasaan atas logika agama. “Pembagian peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan tidak berdasarkan pada budaya, tetapi berdasarkan wahyu yang bersifat lintas zaman dan budaya,..” ujar anggota Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Henri Shalahuddin.
Jika pakai perasaan, tentunya pernyataan bahwa “Berhijab itu mengekang dan merendahkan harkat dan martabat wanita” adalah pernyataan yang masuk akal.
Selain apa yang disebut di atas, RUU gender juga merupakan salah satu bentuk pemberontakan sebagian wanita terhadap fitrah dan kemuliaannya sendiri. Hasan Al Banna berkata yang maknanya “Adanya perbedaan persiapan menyebabkan terjadinya perbedaan peran”, dan persiapan perempuan berbeda dengan persiapan lelaki.
Allah telah menjadikan wanita berbeda dengan laki-laki; beda bentuk tubuh, bahkan cara berfikir dan otak. Louann Brizendine dalam bukunya The Female Brain menceritakan, “Salah seorang pasien saya memberi putrinya yang berusia 3,5 tahun banyak mainan uniseks, termasuk mainan truk pemadam kebakaran warna merah dan bukan boneka. Suatu sore dia masuk ke kamar putrinya dan mendapati anak perempuan itu sedang menimang truk, yang terbalut selimut bayi, sambil mengayunkan badan ke belakang dan ke depan serta berkata “Jangan khawatir, Truckie kecil, semuanya akan baik-baik saja” .
Baik laki-laki maupun perempuan, masing-masing memiliki keistimewaan, dan keistimewaan itu sendiri lah yang menjadikan laki-laki berbeda dengan perempuan. Adanya perbedaan tidak melulu berarti “Siapa yang lebih unggul?”, perbedaan juga berarti “Kekhasan” pada sesuatu yang tak ada pada yang lain. Dengan demikian laki-laki dan perempuan bisa saling melengkapi dengan kekhasan yang dimilikinya masing-masing. Begitulah semestinya wanita menyikapi perbedaan.
“Hukum berpasang-pasangan” berlaku di dunia ini. Bukankah malam dan siang pasangan? Bukankah panas dan dingin pasangan? Bukankah manis dan pahit pasangan? Bagaimana jika salah satu dari hal-hal di atas berontak?; panas ingin selalu menjadi musim dan tak rela dingin menjadi musim, siang ingin selalu bersama hari dan tak rela malam menyapa hari, pahit ingin selalu hinggap di semua rasa dan tak sudi manis mengambil bagian dari rasa? Akankah dunia ini penuh kenyamanan? “ah itu kan alam, benda mati, kita kan manusia, jadi tidak bisa disamakan”. Justru itu, kenapa alam yang benda mati, bisu, tidak berbicara, tidak mendengar bisa lebih mengerti dan menerima perbedaan ketimbang manusia yang telah Allah anugerahkan perangkat untuk memahami. Seperti itu pula lah pertanyaan-pertanyaan yang patut dilontarkan ketika wanita berontak terhadap fitrahnya sendiri! Fitrah bahwa wanita adalah pasangan lelaki
Allah berfirman:
Wahai manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”. (QS. An-Nisa: 1)
Karena kita makhluk hidup, bukan benda mati, karena kita manusia, bukan sepatu, maka pasangan berarti dua individu yang berbeda, dan perbedaan ini menuntut “keistimewaan”. Apa yang Anda pahami dari kata “istimewa”? inilah yang saya pahami, istimewa berarti “Bagian yang menjadi pembeda/pemisah/yang membuat istimewa antara jenis yang sama”. Jika Manusia dan kuda sama-sama hewan, maka yang membuat manusia istimewa adalah “berfikir”, karena itu manusia dikatakan hayawan natiq (Hewan yang berfikir). Jika Perempuan dan Lelaki sama-sama manusia, maka yang membuat perempuan istimewa adalah “Melahirkan” (menjadi seorang ibu).
Ini menurut logika, bisa salah bisa benar. Esensinya adalah “Beda fitrah”, itu yang ingin saya sampaikan. Selain memiliki perbedaan secara biologis, perempuan juga berbeda secara psikologis dengan lelaki, yang menjadikan segala usaha “perempuan” untuk menyamakan diri dengan lelaki dinilai sebagai pemberontakan terhadap fitrahnya sendiri. Bahkan, sudah sejak dini lelaki berbeda dengan perempuan, hal ini diisyaratkan dengan kromosom Y dan X; kromosom Y membawa sifat-sifat kelelakian, sedangkan kromosom X berisi sifat-sifat kewanitaan. Pertanyaannya, kenapa mesti dibedakan? Kenapa X dan Y?
Kapan Dan Kepada Siapa Aurat Boleh Terlihat?
Karena wanita ingin dimengerti”, dan Allah tidak menafikan perasaan ini, Dia Maha tau.
Yang pertama adalah kapan? Jawabannya adalah “Dalam kondisi darurat”. Ada beberapa kondisi pengecualian yang pada saat itu orang asing (bukan mahram) boleh melihat sebagian aurat wanita dengan catatan bahwa pengecualian ini masih dalam koridor rukhshah (keringanan), artinya dimaksudkan untuk benar-benar meringankan dan memudahkan bukan dibuat-buat (meringan-ringankan dan memudah-mudahkan).
Kondisi-kondisi tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Saat mengkhitbah (melamar): diperbolehkan melihat wajah dan telapak tangan, dengan maksud melihat, hanya melihat!
  2. Saksi dalam jual beli: diperbolehkan melihat wajah penjual atau pembeli yang kebetulan wanita.
  3. Dokter: diperbolehkan melihat “letak rasa sakit”, itu pun jika tidak ada dokter wanita, atau ada, namun dokter wanita tersebut hanya sanggup mengobati apa yang selain dokter laki-laki obati.
  4. Saksi yang melihat perzinahan: diperbolehkan melihat yang dapat mengesahkan kesaksiannya.
  5. Dalam kondisi gawat darurat: seperti kebakaran atau hendak tenggelam. Tidak ada wanita yang dapat berenang, atau ada namun yang laki-laki lebih mahir dan cepat misalkan, maka dibolehkan kepada laki-laki tersebut untuk menolongnya dan melihat sekedarnya (apa yang perlu dilihat).
  6. Hakim: Boleh melihat wajah perempuan yang disidangnya.
  7. Dan kondisi-kondisi lainnya yang dianggap atau dapat dikatakan sebagai kondisi darurat.
Yang kedua adalah kepada siapa? Sesuai dengan QS. An-Nur ayat 31, ada 12 golongan yang kepada mereka perempuan boleh terlihat auratnya. 12 golongan tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Suami.
  2. Ayah mereka (para wanita); termasuk kakek dan buyut, baik dari ibu atau dari bapak.
  3. Ayahnya suami (bapak mertua).
  4. Putra-putri mereka; termasuk cucu dan cicit, dari anak lelaki maupun perempuan.
  5. Putra-putri suami mereka (dari istri yang lain).
  6. Saudara laki-laki; saudara kandung, baik seayah atau seibu.
  7. Putra-putri saudara kandung lelaki (keponakan)
  8. Putra-putri saudara kandung perempuan (keponakan juga); Islam mengharamkan pernikahan antara seorang laki-laki dan bibinya, karena itu bibi dikatakan sebagai mahram (yang haram untuk dinikahi).
  9. Wanita-wanita muslimah; adapun wanita non muslimah, pendapat yang baik adalah mereka tidak diizinkan melihat apa yang tidak boleh dilihat lelaki (sama dengan lelaki yang bukan mahram).
  10. Hamba sahaya
  11. Orang idiot atau tolol yang sama sekali tidak ada syahwat terhadap wanita.
  12. Anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan, namun jika mereka nampak sudah mengerti tidak diperbolehkan bagi wanita untuk membuka aurat di hadapan mereka walaupun mereka belum baligh.
Dua belas golongan di atas berbeda satu sama lain akan kebolehan bagian mana saja yang boleh terlihat. Apa yang boleh terlihat oleh seorang ayah berbeda dengan apa yang terlihat oleh seorang suami. Untuk lebih rinci dan detail, silakan merujuk kembali ke buku-buku fiqih.
Pakaian Seorang Muslimah
Setelah paham betapa aurat itu menentukan iffah (kesucian) sekaligus izzah (kemuliaan) seorang wanita, maka Islam menunjukkan bagaimana seharusnya seorang wanita berpakaian dan berpenampilan:
  1. Hendaknya pakaian menutupi seluruh tubuh dan hanya memperlihatkan bagian yang boleh terlihat (wajah dan telapak tangan).
  2. Tidak terbuka di sana-sini (berpakaian tapi telanjang).
  3. Tidak sempit sehingga membentuk lekukan tubuh, walaupun tidak buka-bukaan.
  4. Tidak menyerupai pakaian lelaki.
  5. Tidak menyerupai pakaian non muslim.
  6. Hindari terciumnya parfum oleh selain 12 golongan di atas, karena itu memancing pandangan!
Demikian mudah-mudahan selain wanitanya yang menjaga kehormatan, lelakinya pun dapat menjaga pandangan, dan insya Allah kolaborasi keduanya dapat mengantarkan negeri ini pada kemuliaannya. Pada akhirnya, dengarlah syair ini untuk para wanita muslimah di manapun mereka berada:
Syaithan berkata kepadanya:
Laki-laki mana yang akan datang kepadamu kalau engkau memakai jilbab?
Bagaimana para lelaki kan datang kalau kau tersembunyi di balik hijab?
Kecantikanmu kan redup dan keremajaanmu kan tertutup

Wanita itu tersenyum sambil berkata:
Tujuan hidupku adalah ridha ilahi, maka biarlah mereka cuap-cuap
Aku tak rela menjadi manis, tapi lalat berkerumun hendak menyantap
Atau seperti potongan daging yang dipandangi lekat oleh srigala-srigala lahap
Aku telah ridha dengan iman sebagai pakaian
Dalam hijabku, kumerasa kehormatanku tinggi seperti awan
Wallahu’alam bis shawab.

Catatan Kaki:
[1] Yang saya maksud dengan buka-bukaan adalah terhadap selain mahram, karena di beberapa negara ada juga PSK yang bercadar, Saudi contohnya. Karena itu Saudi adalah pengecualian, karena pada umumnya PSK itu buka-bukaan.
[2] Dikutip dari artikel “Mengapa Harus Kartini?”.
[3] التراتيب الإدارية jilid 1 halaman 52 cetakan Beirut.

15/5/2012 | 24 Jumada al-Thanni 1433 H | Hits: 910

Tidak ada komentar:

Posting Komentar